Advertise

 
Selasa, 13 Desember 2011

TIGA MENTERI PENDIDIKAN?

0 komentar
Kementerian Pendidikan Nasional berubah menjadi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan satu menteri dan dua wakil, masing-masing wakil bidang pendidikan dan wakil bidang kebudayaan.
Meski penyatuan kembali bidang pendidikan dengan kebudayaan layak disambut, penambahan posisi wakil menteri mengingatkan kita pada nomenklatur tahun 1961.
Ketika itu, Presiden Soekarno membagi Kementerian Pendidikan, Pengetahuan, dan Kebudayaan (PPK) menjadi Departemen Pendidikan Dasar dan Kebudayaan (PDK) serta Departemen Pendidikan Tinggi dan Pengetahuan (PTP). Indonesia memiliki tiga menteri pendidikan dalam satu kabinet. Dampaknya amat buruk bagi praktik penyelenggaraan pendidikan.
Ada baiknya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono belajar dari pemerintahan masa lalu. Tanpa visi kepemimpinan yang jelas, penambahan (wakil) menteri pendidikan alih-alih menyelesaikan aneka persoalan secara inte- gral, sebaliknya justru berpotensi membuat permasalahan pendidikan di lapangan semakin ruwet akibat terlalu banyak pemegang kendali kebijakan.
Too many cooks spoil the soup. Terlalu banyak juru masak merusak rasa sup, begitu nyanyian Mick Jagger dan John Lennon.

Pengalaman tahun 1961 menunjukkan, keberadaan tiga pejabat tinggi sekaligus di Kementerian Pendidikan membuka pintu bagi kontestasi kekuasaan yang, dalam konteks kala itu, bersumber pada perbedaan ideologi.

Menteri Departemen PDK dan Menteri Koordinator PPK yang didukung PKI serta menteri Departemen PTP yang dikendalikan tentara Angkatan Darat berebut pengaruh dalam pembuatan kebijakan. Akibatnya, lembaga Kementerian Pendidikan, sistem pendidikan nasional, dan organisasi profesi guru semua terbelah. Soekarno tampil bak pahlawan pemersatu dalam semangat Demokrasi Terpimpin.
Perpecahan akibat perbedaan ideologi seperti dalam tahun 1960-an kecil kemungkinan terjadi lagi sekarang. Namun, desain struktur menteri membawahkan dua wakil menteri mirip desain nomenklatur 1960-an ketika presiden semakin terjauhkan dari dampak langsung dan tuntutan untuk bertanggung jawab atas kesalahan kebijakan di tingkat bawah.
Selain itu, pagu anggaran pendidikan yang lebih dari Rp 200 triliun per tahun—ditambah absennya arah dasar pembangunan pendidikan—bisa menjadi pintu perebutan pengaruh dan disharmoni kerja yang dampaknya bagi rakyat sama serius dengan perpecahan berbasis ideologi.
Tak memacu kerja
Sejak dimunculkan dalam Kabinet Indonesia Bersatu II, posisi wakil menteri pendidikan terbukti tak memacu kerja kementerian dalam penyelesaian langsung aneka persoalan. Ribuan ruang kelas masih hancur. Program wajib belajar sembilan tahun tidak tercapai. Angka buta aksara tinggi. Hasil evaluasi atas ujian nasional tidak jelas. Segregasi sosial terus terjadi melalui (rintisan) sekolah berstandar internasional. Program sertifikasi dan pendidikan profesi guru karut-marut. Banyak sekolah swasta sekarat. Guru honorer tak dipedulikan.
Jadi, anggaran kian memadai dan individu-individu yang menduduki posisi menteri dan wakil menteri pendidikan tak diragukan dedikasi dan kapabilitasnya. Namun, hak dasar rakyat atas layanan pendidikan bermutu yang diamanatkan konstitusi tidak juga segera terpenuhi.
Ada faktor kepemimpinan dan koordinasi yang tak berjalan semestinya dalam dua tahun keberadaan posisi wakil menteri pendidikan selama ini. Oleh karena itu, lebih baik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memperjelas arah pembangunan pendidikan dan menegaskan visi kepemimpinan sehingga rincian beban kerja dan peta persoalan pendidikan menjadi gamblang.
Optimalkan fungsi para direktur dan direktur jenderal pendidikan! Pejabat Kementerian Pendidikan perlu diwajibkan untuk lebih sering turun ke daerah guna memperbaiki koordinasi dengan dinas-dinas pendidikan. Sebagaimana diungkapkan filsuf sosial Jeremy Rifkin, sinergi adalah kunci kemangkusan kerja.
Tanpa itu semua, penambahan posisi wakil menteri hanya membenarkan anggapan bahwa pucuk pemimpin—yaitu presiden—mau menghindar dari tanggung jawab langsung atas konsekuensi kebijakan strategis dan implementasinya!
Pendidikan dan Kebudayaan
Momentum penting dari perubahan nomenklatur Kementerian Pendidikan saat ini adalah disatukannya kembali bidang pendidikan dan kebudayaan. Perubahan tersebut diharapkan mengembalikan pendidikan Indonesia kepada roh kebudayaan.
Meskipun demikian, perubahan nomenklatur tak akan bermakna substansial jika kebudayaan diartikan sebatas hasil kreasi manusia, material culture atau immaterial culture, misalnya manifestasi karya seni atau warisan masa lalu. Kebudayaan harus diartikan sebagai cara berpikir atau paradigma dari proses kita menjadi manusia Indonesia. Ia pencarian identitas yang dinamis dan kontekstual tanpa mengabaikan masa lalu.
Pendidikan yang be-roh-kan kebudayaan berarti pendewasaan anak didik yang menghargai perkembangan setiap individu, cura personalis, dalam bingkai pewujudan kebaikan hidup bersama, bonum commune. Jika paradigma kebudayaan menjiwai pendidikan, anak didik tidak dipandang sebagai capaian skor atau nilai ujian; sekolah bukan lagi seperangkat kurikulum atau sederet ruang kelas dan meja belajar.
Status perkembangan anak didik tidak ditentukan oleh kemampuan orangtuanya membayar uang sekolah, tetapi dari kemampuan anak tersebut merefleksikan pengalaman hidup. Pendidikan yang be-roh-kan kebudayaan meletakkan hubungan antara pendidik dan terdidik dalam napas perjumpaan dialogis yang saling peduli.
Perubahan nomenklatur Kementerian Pendidikan akan menjadi momentum reformasi pendidikan Indonesia jika kebudayaan dimaknai dalam tataran filsafati, bukan dalam semangat untuk sekadar ”menjual” warisan masa lalu melalui institusi pendidikan. Penjabaran konsepsi kebijakan hulu menjadi hal krusial yang harus dilakukan.
Agus Suwignyo Pedagog cum Sejarawan Pendidikan, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada
(Kompas, 20 Oktober 2011)

Leave a Reply

Labels

 
KUMPULAN BERITA © 2011 DheTemplate.com & Main Blogger. Supported by Makeityourring Diamond Engagement Rings

You can add link or short description here