Advertise

 
Selasa, 13 Desember 2011

MENCARI SEKOLAH NETRAL

0 komentar
Oleh Agus Suwignyo
Sekarang tidak hanya sekolah murah yang sulit dicari. Sekolah netral yang bebas dari pengajaran keagamaan yang membebani juga amat sukar ditemukan.

Hampir semua sekolah di setiap jenjang memberi pengajaran agama dengan porsi luar biasa, meliputi teori dan “praktik”‘. Sekolah- sekolah keagamaan menambah porsi pelajaran agama dengan materi yang kian spesialistik, seperti kekhasan ideologi suatu organisasi keagamaan. Sekolah-sekolah nonkeagamaan-termasuk sekolah negeri nonkeagamaan- semakin berciri keagamaan yang kental.
Tragisnya, pengajaran agama itu umumnya menyangkut dogma, ritus, dan hal-hal luaran seperti pakaian. Telusuran atas beberapa materi pelajaran agama menunjukkan bahwa tak satupun sekolah memasukkan pemahaman agama dalam konteks kebudayaan kontemporer masyarakat yang terus berubah.
Gelisah seorang bapak
Sebenamya saya tidak sepakat ketika istri mengatakan bahwa anak kami yang baru berusia 3,5 tahun itu sudah perlu dimasukkan ke sekolah. Alasan saya, terlalu dini. Sekarang jenjang pendidikan sebelum SD cukup panjang, meliputi TK, kelompok bermain, bahkan prakelompok bermain. Jika anak masuk sedini itu, saya bayangkan hingga perguruan tinggi ia akan sangat lama berada di sekolah.

Saya merasa desain penjenjangan sekolah itu mau merebut paksa pendidikan anak-anak dari orangtua. Namun, istri meyakinkan bahwa anak butuh ruang sosialisasi dan bermain lebih luas yang akan terfasilitasi di sekolah. AkhiInya, kami mencari sekolah yang programmya memfasilitasi anak bermain dan bersosialisasi.
Karena belum bisa melakukan survey langsung, saya mencari tahu program-program kelompok bermain melalui internet dan dibuat terkaget-kaget! Sejumlah sekolah memasukkan acara “ibadah” di sela-sela jadwal bermain anak balita, yang hanya sekitar dua jam tiga kali seminggu itu.
Cerita teman di Yogyakarta yang anaknya lebih dulu masuk sekolah membuat saya lebih terkejut. Sekolah-sekolah memang menawarkan program bermain, tetapi acara bermain itu tak bebas dari cara berpikir primordial berbasis agama. Misalnya, permainan “berkumpul dalam kelompok” yang tujuan aslinya mengenal identitas. Pertama-tama, anak diminta berkelompok menurut jenis kelamin, laIu menurut jenis rambut (lurus atau ikal), kemudian menurut agama!
Banyak hal bisa diperbincangkan dari kasus permainan “berkumpul dalam kelompok” yang penuh akal-akalan itu. Namun, harus dikatakan bahwa kasus ini menunjukkan betapa sekolah menjadi wadah kontestasi ideologi agama yang semakin kasatmata. Pedagogi berbasis nilai-nilai kemanusiaan universal kini nyaris tak tersisa dalam proses pendidikan kita sejak dini.
USBN pelajaran agama
Belakangan kita menyaksikan pelaksanaan ujian sekolah berstandar nasional (USBN) bidang pelajaran agama. Semua sekolah negeri nonkeagamaan di Yogyakarta telah melaksanakan ujian tersebut “dengan sukses” sebagaimana dilaporkan Kompas dan Kedaulatan Rakyat.

USBN pelajaran agama menegaskan menguatnya ideologisasi agama di sekolah. Identitas keagamaan berangsur mendominasi karakter keindonesiaan yang plural dalam beraneka aspek. Sekolah tak lagi sebagai wadah penyemaian identitas kultural yang solider dalam pluralitas itu, tetapi identitas keagamaan yang dogmatis, ritualistik, dan segregatif.
Pilar moral yang mendasari ideologisasi agama di sekolah senyatanya amat lemah sebab di masyarakat, anak-anak menyaksikan kekerasan atas nama agama terus-menerus terjadi. Lebih parah lagi, kekerasan-kekerasan itu dibiarkan oleh kekuasaan negara sehingga muncul kesan seolah-olah tindak kekerasan memang dibenarkan agama.
Ideologisasi agama di sekolah di satu sisi dan tindak kekerasan atas nama agama yang dibiarkan terus terjadi di sisi lain mengajarkan kemunafikan. Nilai luhur agama yang diajarkan dan praktik keseharian dalam masyarakat sungguh jauh panggang dan api.
Masuknya agama sebagai mata pelajaran wajib di sekolah adalah arus balik. Awalnya, pelajaran agama di sekolah-sekolah negeri diberikan di luar jam pelajaran sekolah. Menyusul kongres pendidikan Partai Komunis Indonesia pada 1963, pelajaran agama dihapuskan sama sekali. Dalam kongres ke-11 Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) di Bandung pada 1967 diusulkan agar Pancasila dan agama dijadikan mata pelajaran wajib di semua lembaga pendidikan. Ini merupakan bagian gejolak politik yang sedang terjadi saat itu.
Usul kongres PGRI tersebut terlaksana. Namun, selama sekitar 30 tahun selanjutnya Pancasila dijejalkan berjubelan dalam semua lini dan jenjang pendidikan sehingga membosankan. Setelah 1998 kita melupakan Pancasila.
Runutan ini menunjukkan bahwa metode indoktrinasi atas ideologi apa pun menimbulkan arus balik sikap antipati karena karakter manusia yang mudah jengah. Gencamya ideologisasi agama di sekolah saat ini dikhawatirkan akan mengulang sejarah arus balik itu.
Agus Suwignyo, pedagog cum sejarawan pendidikan, FIB UGM
(Dimuat Harian Kompas, 2 April 2011)

Leave a Reply

Labels

 
KUMPULAN BERITA © 2011 DheTemplate.com & Main Blogger. Supported by Makeityourring Diamond Engagement Rings

You can add link or short description here